Pict: tmelindaa.com
Boleh tidak aku terdiam sejenak tidak melakukan apapun. Hanya memerhatikan sorot lampu yang menerangi lapangan hijau di tengah ibu kota petang ini. Aku kira aku sedang mendadak melodramatis ditengah my moon day. Mendadak ingin menangis dan ingin mendengar suara mamaku. Tidak semangat bekerja, padahal aku dibayar memang untuk bekerja, namun yang kulakukan hanya keluh kesah sampah.
Boleh tidak aku sejenak memejamkan mata. Agar paling tidak, meskipun belum bisa liburan karena satu dan lain hal, aku bisa meliburkan jiwaku sejenak. Bebaslah ia berkelana kemanapun ia mau. Atau mau mimpi pergi ke Paris lagi dengan mesin waktu. Menyusuri trotoar yang penuh orang. Ada yang menjajakan aksesoris, lukisan, dan tak luput ibu-ibu berwajah Asia yang mengenakan daster dengan rambut pendeknya dikuncir kecil. Agak mirip dengan my Sangita saat itu.
Aku kira bitching session hanya dibutuhkan sebulan sekali. Nyatanya, malam ini aku akan melakukannya lagi bersama kawan satu vibe-ku. Sebulan dua kali. Sementara setiap hari seperti perjuangan tanpa usai. Tidak jelas seperti kaca helm motorku yang terkena rinai hujan. Yang aku tahu hanyalah, bingung. Ya, itu saja.
Maunya sih tegas terhadap diri sendiri. Tetapi rasanya mungkin aku memang lebih asyik kerja dalam satu ruangan atau area sendiri. Nah, setelah kuingat-ingat aku memang punya lokasi khusus setiap bekerja. Ketika diberikan meja sendiri tetapi bergabung dengan banyak orang, kok mulai terasa kurang asyik ya.
Mau apa hayo? Karena kalau ada istilah “Anak jaman sekarang kalau kerja tuh ya banyak maunya. Mau belajar, mau inilah, mau itulah. Rasanya seperti ga ada rasa setia terhadap perusahaan untuk kasih dedikasi” – that sounds maybe like me tho.
Mungkin ini rasanya mencari passion tapi belum jodoh. Ramai terasa sepi, tidak tertarik maka auto apatis.
“Ini darah muda, memang tak mudah menaklukkannya. Tolong tunjuk tangan, siapa yang pernah mencoba? – Realita “Fourtwnty”
Sudah ya. Sampai nanti 🙂