We never know the worth of water unless the well is dry – Sharon Creech
Malam datang menutup tirai matahari dihari itu. Ada suara tangis anak-anak menjelang tidur. Ada pula yang menangis dalam sunyi. Sebagian yang lain tertidur dalam senyum terkulum manis. Tidak ada yang dapat menduga apakah mimpi buruk yang akan singgah pada mereka, ataukah kenyataan yang buruk menjadi penyambut saat mata mereka terbuka di pagi hari.
Siang itu semua orang panik dan berhamburan tak menentu. Wajah mereka penuh keheranan, ketakutan sekaligus rasa tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Pantai mengering. Tersisa hamparan pasir putih yang luas. Rumah salah satu penduduk pun rusak, entah apa yang rusak. Dari depan tampak tembok gelap, bangunan itu seperti setengah jadi.
Aku dan seorang pria paruh baya bekerja sama membersihkan dan membangun rumah rusak itu. Entah apa yang kami lakukan, sambil mengitip celah ventilasi, berharap pantai kembali berair dan bukan hanya hamparan pasir. Dan entah dari mana asal air mancur raksasa itu ada …. tinggi, besar, dan air mengalir deras darinya. Terus mengalir sampai mengisi pantai sedikit demi sedikit.
Kurasa aku dan pria ini membangun penginapan di pinggir pantai. Membantu seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa. Lantas rumah ini sudah jadi, dan air pantai kembali penuh. Air mancur raksasa itu tetap disana. like a sacred one. Aku hendak berlari menuju pria itu untuk bersalaman, aku seperti menganggapnya saudaraku, ia seperti sosok seorang bapak. Lalu dia mundur dan mengatupkan kedua tangannya dan tersenyum.
Aku tak mengerti, aku kembali mendekatinya, dan ia duduk di sebuah kursi kayu di depan rumah yang kami betulkan. Lalu ada beberapa orang yang menahanku.
“Kenapa aku tidak bisa memeluknya atau mencium tangannya?” tanyaku
Hening dan hanya ada satu suara menjawabku “tidak boleh”
Dan kemudian semuanya menggelap. Ah, aroma pantai … Aku masih dapat menciumnya. Pasir, dan gemericik air. Papan rumah yang ku pasang bersamanya. Orang-orang yang berlalu-lalang. Dan aku pergi dengan kecepatan cahaya. Kembali dan sadar, bahwa aku hanya singgah dalam sebuah mimpi.
To Love Is To Forgive
Memaafkan yang berlalu, memaafkan yang tak terucap. Dan sepertinya memang memaafkan adalah bagian daripada cinta. Menghargai kenangan dan semua yang kita miliki. Karena kita tidak pernah tahu bagaimana rasanya setelah kehilangan itu semua.
Bahwa setelah air mengering, akan ada aliran air yang mengisinya kembali. Setelah kekeringan Tuhan akan menjadikan hujan sebagai rahmat semesta alam. Bahwa setelah terjerembab sejatuh-jatuhnya kita masih bisa bangkit.
Bahwa bentuk mencintai dan menghargai diri sendiri adalah dengan mulai memafkan diri sendiri. Atas semua yang sudah terlewati, kesalahan masa lalu, kesedihan, dan penyelasan yang dimiliki. Maafkan kalau memang mencintai.
Setelah memaafkan, perbaiki yang bisa diperbaiki. Kembalikan momen yang terlewat dengan momen baru. Kembalikan kebahagiaan yang dulu sempat terampas ego.
To Love is To Forgive, Forgive and Fix the Mess 🙂
Selesai perkara ♥