Tidak, mataku tidak sakit. Ia hanya mengaburkan bayang pasti yang sudah kufokuskan berulang kali. Mengganggu apa yang aku anggap “indah”. Aku sering bermain dengan mataku. Semacam mengejar ikan terbang, atau menanti bunga chicory tumbuh dari telur ayam. Tanganku kerap kali menangkap bayang yang mataku munculkan secara mendadak. Bayang-bayang halus yang menembus jauh kedalam dasar penglihatanku.
Ah, sudah kubilang mataku tidak sakit. Aku tidak gila. Mataku adalah center dari bakat yang aku miliki. Seperti Santa dalam The Rise of Guardians. Kadang selain bermain, ia sering menelisik terlalu jauh sampai-sampai ia berair dan menangis sendu. Bukan untukku, tapi untuk temuannya yang tak pernah aku minta. Perasaan, keseharian, sejarah seseorang, atau apa yang membuat seseorang itu menjadi seperti saat ini. Sesuatu yang ditemui mataku dan membuatnya menangis. Aku hanya dibebani dengan beratnya sebuah rasa. Rasa yang tak pernah aku minta kehadirannya. Rasa yang terlalu dalam untuk kupikul sendiri.
Ya, barangkali mataku adalah sebuah jiwa yang terjebak dalam organ tubuh seseorang, lalu kemudian ia memberontak untuk bertindak lebih. Apakah ia betul sepasang mata, atau jiwa yang menggerakkan mata? Jiwa yang tertanam di belakang leherku yang bentuknya seperti benang perak, atau seperti bayangan yang aku lihat, halus dan kecil. Menggerogoti syaraf hingga ia menancap lebih dalam. Jadi siapa pemilik siapa? Apakah aku tuan dari tubuh ini, atau aku jiwa pemberontak yang meminta kepemilikan penuh dari invasi tubuh dari manusia ini.
Bagaimana pantulan wajahku sebenarnya? Benarkah ia wajahku? Atau seseorang yang aku tidak kenal sama sekali. Lalu kami bertemankah? Bermain, saling mengejek. Saat ini, paling tidak ada masa tenang. Biarlah biar. Mati atau hidup, kami tetap saling membebani. Tidak, tidak. I am my self’s limitless spirit.
Kemudian …. adalah kata yang tak pernah berlanjut setelahnya.