30 Maret 2019 – Kineruku, Bandung
Aku berada di tengah halaman belakang kineruku. Duduk dengan meja kecil yang menyimpil di ujung mejanya teh poci dengan teko dari liat. Sangat Solo sekali untuk berada dalam kota bernama Bandung. Aku mengambil tiga buah buku dan bertemani 6 buah churros yang diantar oleh mas-mas muda dan gemas yang ramah. Churros mengingatkanku pada sebuah film kartun berjudul “The Book of Life”. Sederhana dan tak penting sebenarnya. Hanya monolog anak kecil yang berjualan Churros di pinggir jalan, dan kemudian burung berterbangan dan dengan usil mengotori churros dengan kotorannya.
“Churros … dirty churros” – sudah ku bilang. Tidak penting.
Hujan mendadak dan aku harus memindahkan perintilan yang ku bawa sendiri. Pindah di tengah orang-orang yang berkumpul Bersama teman-temannya. Aku bertaruh enam orang di sebelah kiriku masih kuliah. Kadang untuk hal seperti ini aku agak iri. Karena mungkin teman kuliahku tak seasyik mereka. Atau teman SMA ku sudah mayoritas sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sebelah kiriku mungkin mereka baru lulus dan baru bekerja. Lalu salah seorang gadis yang berkerudung hitam meminta temannya untuk menuliskan sebuah cerita tentang gaya belajar dari SD sampai dengan SMA. Oh, mereka anak kuliahan, dan mungkin melakukan part time. Aku iri lagi, wajahku dari dulu tidak ada kinyis-kinyisnya. Boros. Tidak semuda mereka.
Saat ini aku sedang membaca Serat Centhini. Sangat bagus untuk permulaan. Uniknya aku membaca bab 2 tentang Sunan Giri yang berlokasi di Gresik saat itu. Aku jadi ingat Romo-ku yang sekarang sedang tinggal di Gresik. Yang uniknya lagi, Sunan Giri memiliki putra angkat bangsa Cina yang bernama Endrasena. Rasanya aku ingin teriakkan hal ini kepada mereka yang merasa ras Cina menjadi masalah terhadap kepribumian. Jadi orang kok sentimental banget sih. Tapi memang sih, yang ceritakan meskipun sakti, Endrasena agak sombong. Aku tidak bilang ras Cina sombong. Teman-teman dekatku yang Cina tidak sombong. Sangat humble. Nasib akhir Endrasena cukup nahas memang. Sudah, aku tidak jadi teriak soal kepribumian lagi. Hehe
Duh, aku mendengarkan sekelompok anak kuliahan yang ber”aing-aing”-an. Aku kok jadi lucu sendiri. Ingat seseorang. Geng Pengajian Furqon (percayalah nama itu hanya kamuflase). Hujannya deras. Dan aku bingung mau berangkat jam berapa ke Kartika Sari di Paskal. Keretaku sih jam 7 malam.
Kembali ke Serat Centhini. Leluhurku kenapa sakti-sakti sekali. Selain sakti, tertuturkan bahwa ilmunya pun begitu tebal. Jaman kerajaan (khususnya dimana ada Mas Cebolang, Namanya lucu ya hehe) dahulu pun sudah ada begal. Dan orang berilmu biasanya jadi terpaksa mengeluarkan sihir. Rumit ya. Sihir ini …. Kurasa sihir adalah masalah kata-kata. Kita tidak pernah tahu dari mana asal energi dari “sihir” ini. Bagaimana cara membedakan sihir hitam dan putih. Bagaimana bisa tahu bahwa energi itu tidak datang dari makhluk selain Allah SWT? Aku juga tidak tahu, sederhananya aku memilih tidak ikut-ikutan meskipun menilai perihal itu menarik. Biar jadi rahasia sejarah saja.
Aku menilik ke halaman yang rindang dan cocok untuk piknik atau camping pribadi. Pohon-pohonnya mengingatkanku pada film Bridge to Terabithia. Yang menurutku akhir ceritanya cukup bittersweet. Aku menolak bahwa Leslie Burke betul betul mati. Aku berimajinasi Leslie tersembunyi pada dimensi lain di hutan. Menjadi fairy god mother mungkin. Atau bergabung dengan peri atau warriors. Leslie terlalu maskulin untuk sosok peri. Mau deh suatu hari punya rumah dengan halaman depan atau belakang seperti ini. Kelak entah kapan. Hidup ini jangan dibawa rumit bukan? Chill saja yuk. Meskipun tajuk itu ditolak keras oleh beberapa orang.
Ini tentang Serat Centhini lagi. Yang aku salut adalah, betapa pada dasarnya mereka memiliki fondasi yang cukup kuat. Maksudku, para pendahulu. Sastra mereka pun sarat makna. Ini yang kuanggap salah satu bukti konkret ketika bekerja atau apapun haruslah berdasarkan pada keimanan. Makna bekerja sebagai ibadah. Juga tentang hak laki-laki dan perempuan itu sama. Ayolah, mereka adalah sejarah, tetapi menurutku pemikiran mereka jauh dari kolot. Kata Syekh Amongrogo, yang dimaksud fardhu ialah yang kesejatiannya langgeng, sebab sembahyang (kalau kita sekarang menyebutnya sholat) itu benar-benar akan menuntun ke arah yang sejati (benar). Dan beliau juga menyatakan yang dimaksud anugerah adalah bila di dalam laki-laki ada perempuan dan sebaliknya, itulah yang dapat menerangkan adanya roh. Ini sangat haluuuus sekali dalam membahas terkait generasi dan reproduksi. Mereka para pendahulu sungguh bijak sekali.
Namanya juga Serat ya. Satu buku isi ilmunya banyak sekali. Semoga aku ingat untuk bisa memiliki bukunya. Kurasa almarhum bapak memiliki Serat Centhini tapi semuanya bahasa Jawa. Maaf banget nih. Anaknya yang “kw” ini tidak terlalu paham bahasa Jawa. Hanya bisa berpura-pura mengerti, memedhokan suara agar dipercaya orang Jawa.
Masuk ke bab tujuh tentang ilmu tasawuf. Waktu menunjukkan 16.31. Aku harus mengakhiri kesantaian ini dan menuju ke Kartika Sari. Namun sebelumnya biarlah aku mau menuliskan tentang Serat Wulangreh.
Makna kehidupan itu
sungguh saying bila takt ahu
tidak kokoh hidupnya
banyak orang mengaku,
perasaannya sudah utama,
padahal belum tahu rasa,
rasa yang sesungguhnya,
hakikat rasa itu adalah,
usahakan agar diri sempurna,
dalam kehidupan.
Dalam Qur’an tempat rasa jatim
tapi jarang orang tahu,
keluar dari petunjuk,
tak dapat asal-asalan,
akhirnya tidak ketemu,
malah terjerumus,
akhirnya kesasar,
kalau kamu ingin peka,
agar hidupmu sempurna,
maka bergurulah.
…
Namun bila kamu berguru
pilihlah manusia nyata
yang baik martabatnya
serta tahu hokum
yang beribadah dan sederhana
syukur dapat pertama
yang sudah menanggalkan
pamrih pemberian orang
itu pantas kamu berguru
serta ketahuilah
Kalau ada orang bicara ilmu
tidak setuju empat perkara
jangan cepat-cepat
percaya padanya
saringlah yang teliti
pertimbangkanlah empath al
perkara terdahulu
dalil hadis dan ijma’
dan keem[ppat qiyas semua
telah disepakati
Ada juga yang mantab
kalau tepat empat perkara
sungguh tidak tepat
hanya meninggalkan waktu
menganggap sudah tepat
hendak tidak shalat
hanya bikin tanggung
lalu membuang syariat
batal haram tak peduli
lalu bikin kacau
Sudah ya. Nanti kalau aku ke Bandung lagi, aku akan mencoba mengutamakan untuk nongkrong di sini. Ah, dan satu lagi. Banyak karya-karya indie disini. Aku tersenyum sendiri tadi memilihnya. Rencananya aku akan memilih beberapa. Sampai nanti ya.