Personal Literature

Labirin Spasial

Sesubuh itu begitu cepat berlalu. Matahari terik menyingsing menyempurnakan hari ini. Gemerisik daun jambu dan palem terdengar ramah di telingaku. Ada yang bisa aku jadikan teman pagi itu untuk tersenyum. Udara membelai lembut kulitku. Terasa sejuk dan teresapi rasa dingin. Geliat tubuhku menyambut semua itu. Kicauan burung yang melewatiku, gemericik air yang membawa bau hujan kemarin malam yang berpadu tanah gembur. Petrikor.

Aku merindukan sesuatu yang tak kutahu persis apa itu. Hanya saja air mata mengalir dengan sendirinya. Seolah ada yang hilang. Sesuatu yang tidak ingin aku lupakan tetapi memori itu seolah lenyap dalam ingatan. Aku seperti tertelan dalam portal waktu yang entah membawaku ke era lain. Warnanya jingga, memori itu berwarna jingga seperti senja. Tetapi entah apa yang terjadi didalamnya. Aku lupa.

Aku menikmati setiap hembusan udara pagi itu. Aku berjalan menelusuri tapak batu di taman. Berjalan tanpa arah namun tetap ke muara. Aku meneriakkan kebebasan dalam hati. Lamat-lamat ada syukur yang terucap. Namun air mata ini terus mengalir begitu hangat. Aku merasa tenang sekaligus gusar dalam kesendirian.

Indah gambar kehidupan yang kutorehkan pada kanvas layar kaca dan batasan pandangan seseorang. Namun, aku lupa untuk apa air mata ini. Siapa yang kulupakan, apa yang aku tinggalkan? Aku sedih, namun bahagia pada saat yang bersamaan.

Hari apa ini? Rasanya mengapa hari ini mengingatkanku pada suatu memori yang aku lupa dimana kusembunyikan memori itu. Aku menggapai tanpa pegangan. Meraih yang maya. Aku terjatuh perlahan dalam manisnya marshmallow yang melelehkanku dalam sekejap. Aku tahu mereka membawaku untuk mengingat sesuatu yang kulupakan.

Ah, bunga itu indah sekali. Aku melihat hortensia yang mekar dengan sempurna. Bentuknya bulat penuh gradasi warna merah, biru, putih, keunguan, dan hijau. Ada memori tentang bunga itu yang aku lupa. Aku menemukan secarik kertas dalam plastik yang diikat tali pada batang pohonnya.

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Aku tertegun. Ada memori tentang kalimat itu. Dimulai dengan warna hijau dan gelap. Gemerlap lampu yang menerangi sesuatu. Ada seseorang disana. Ah, tidak. Apa yang aku lupakan? Padahal tidak ingin aku lupakan. Dimana aku sekarang? Apa yang aku lakukan saat ini? Tanggal berapa sekarang?

Aku ingat tadi. Tadi aku sedang, hmm. Apa yang tadi aku lakukan? Aku mengingat perasaan itu, tetapi tidak dengan memorinya. Aku memberaikan mozaik yang sudah hampir berhasil utuh. Aku …..

Ini tempat apa? Aku seolah mengenal kusen coklat dengan plituran keemasan itu. Aku ingat kebun belakang tempat burung-burung peliharaan dimandikan. Aku ingat ada suara anak-anak berlarian. Apa yang aku lupakan? Siapa anak-anak itu? Burung peliharaan siapakah itu?

Aku berjalan dan menyusuri bebatuan dan kembali ke sebuah rumah. Apakah aku tadi jalan kemari? Dari mana awal aku berjalan? Seolah aku lupa apa yang aku lakukan. Aku ingat perasaan itu. Kelembutan belaian udara pagi, kicauan burung, dan lalu tangisanku. Guliran air mata hangat dari mata membasahi pipiku. Ah, aku ingat seseorang membelai pipiku. Warna rambutnya ada yang putih. Apa nama rambut putih itu. Ah, iya. Uban.

Siapa yang membelai pipiku tadi?

Lalu rumah siapa ini? Mengapa sepi sekali? Aku menyusuri kamar demi kamar. Ada kertas bertumpuk. Ada sebuah kain putih dengan cetakan emas tergantung. Aku lemas seolah tidak ada hasrat menyusuri apapun lagi. Mungkin, aku lupa pada orang lain. Aku lupa mendoakan orang lain. Aku mendoakan, tetapi apa yang aku lupa doakan? Ah, mengapa kepala ini terasa sepeti benang yang tergulung kusut.

Aku mungkin terlalu melihat diriku sendiri, aku lupa bahwa ada orang lain yang memerlukan bantuanku, doaku, telinga, dan hatiku. Tapi apa yang terjadi di masa lalu? Mengapa aku tersesat dalam memoriku sendiri.

Kehangatan memori itu juga terasa nyeri pada dadaku. Langkah kakiku seolah bergerak sendiri dengan refleknya. Mengambil sesuatu pada rak buku paling atas. Aku menemukan sebuah kotak kecil. Bentuknya seperti hati. Ku buka pelahan dan lalu aku menemukan kunci. Aku membawa kunci itu kembali ke kebun belakang.

Ah, apa yang ingin aku lakukan dengan kunci ini? Aku tidak tahu. Aku lupa kunci apa ini? Aku lalu melihat sebuah pintu dibalik daun-daun merambat. Aku berjalan menujunya dan mencoba kunci yang aku temukan. Terbuka! Ah, cahaya itu terang sekali, cahaya apa ini? Begitu terangnya dan menghalangi penglihatanku. Aku berjalan dalam cahaya yang menutup penglihatanku. Entah kemana ini. Dan aku merasa aku tak kembali lagi.

Mengkin waktu membawaku untuk mengingat lebih banyak dan melengkapi mozaik yang aku punya. Tetapi, tadi itu apa? Seseorang kini merangkulku. Siapakah dia? Penuh senyum dan membelai kepalaku. Menununku berjalan melewati taman yang tadi sudah aku lewati. Yang manakan yang nyata?

Aku kira aku tidak kembali, tetapi kini ada seseorang disampingku. Apakah dia yang akan membantuku? Aku ingat rasa nyamanku bersamanya, tetapi lagi-lagi aku melupakan sesuatu. Aku rasa aku bisa memaksa kepalaku mengingatnya. Aku rasa ada alasan mengapa air mata ini kembali mengalir hangat.

Kurasa memang ada yang harus aku ingat.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s